Biografi Imam Sufyān ats-Tsaurī
By : Arif Rinanda (Mahasiswa Ma’had Aly zawiyah Jakarta)
Nama Lengkap dan Julukan
Nama lengkapnya adalah Sufyān bin Sa‘īd bin Masrūq bin Hābit ats-Tsaurī (سفيان بن سعيد بن مسروق بن حابث الثوري), dan ia dikenal dengan nama Abū ‘Abdillāh ats-Tsaurī. Julukan “ats-Tsaurī” dinisbatkan kepada Bani Tsaura, salah satu kabilah dari suku Hudzail. Ia adalah salah satu ulama besar ahli hadits, faqih, dan zuhud pada abad kedua Hijriah, serta digelari sebagai “Amīrul-Mu’minīn fil-Hadīts” (Pemimpin kaum Mukminin dalam bidang hadits)1.
Tempat dan Tanggal Lahir
Imam Sufyān ats-Tsaurī dilahirkan di Kūfah, Irak, pada tahun 97 H atau sekitar 715 Masehi2. Ia tumbuh di lingkungan ilmiah karena ayahnya juga dikenal sebagai seorang ahli hadits.
Orang Tua
Ayahnya bernama Sa‘īd bin Masrūq ats-Tsaurī, seorang perawi hadits yang tsiqah (terpercaya). Pendidikan agama yang ia terima sejak dini banyak dipengaruhi oleh keteladanan dan ilmu dari sang ayah3.
Guru-Gurunya
Imam Sufyān ats-Tsaurī berguru kepada lebih dari 600 ulama, di antaranya:
• Imām Ja‘far ash-Shādiq
• Ibrāhīm an-Nakha‘ī
• ‘Amr bin Dīnār
• Al-A‘mash (Sulaymān bin Mihrān)
• Zayd bin Aslam
• Az-Zuhrī (Muḥammad bin Muslim bin ‘Ubaydillāh)4
Ia dikenal sangat cermat dalam meriwayatkan hadits, bahkan menyeleksi dengan sangat ketat mana hadits yang shahih dan siapa perawinya yang terpercaya.
Murid-Muridnya
Di antara murid-murid ternama Imam Sufyān ats-Tsaurī adalah:
• ‘Abdullāh bin al-Mubārak
• Yahyā bin Sa‘īd al-Qattān
• ‘Abdur-Raḥmān bin Mahdī
• Wakī‘ bin al-Jarrāḥ
• Yahyā bin Ma‘īn
• Aḥmad bin Ḥanbal (meriwayatkan darinya melalui perantara)5
Tempat Belajar dan Rihlah Ilmiah
Imam Sufyān ats-Tsaurī memulai belajar di Kūfah, kemudian melakukan rihlah ilmiah (perjalanan menuntut ilmu) ke berbagai kota ilmu di masa itu seperti:
• Baṣrah
• Makkah
• Madinah
• Syām
• Yaman
Di tempat-tempat ini, ia menimba ilmu dari banyak ulama dan juga menyebarkan ilmunya6.
Tempat Mengajar
Sufyān ats-Tsaurī mengajar di berbagai tempat, khususnya di Kūfah dan Makkah. Namun pada masa pemerintahan ‘Abbāsiyah, ia terpaksa hidup berpindah-pindah karena penolakannya terhadap kerja sama politik dengan pemerintah, terutama setelah menolak tawaran untuk menjadi qāḍī (hakim) oleh Khalifah Abū Ja‘far al-Manṣūr7.
Ia akhirnya wafat di kota Baṣrah pada tahun 161 H (778 M), dalam kondisi mengasingkan diri karena tekanan politik.
Madzhab Fikih
Imam Sufyān ats-Tsaurī sebenarnya memiliki madzhab fikih tersendiri, yaitu Madzhab Sufyān ats-Tsaurī, yang sempat berkembang di masa awal Islam. Namun, madzhab ini kemudian tidak bertahan lama secara institusional karena para muridnya tidak melanjutkannya secara formal sebagaimana Madzhab Syāfi‘ī atau Mālikī. Meski demikian, pendapat-pendapat fikihnya banyak dinukil dalam karya-karya fiqih, terutama oleh ulama Hanafiyah dan Hanabilah8.
Aqidah
Dalam hal aqidah, Imam Sufyān ats-Tsaurī mengikuti manhaj Ahlus Sunnah wal-Jamā‘ah, berpijak pada pemahaman Salaf ash-Shāliḥ. Ia menolak segala bentuk bid‘ah, ta’wīl, dan tasybīh dalam masalah sifat-sifat Allah, serta dikenal sangat keras terhadap aliran-aliran yang menyimpang seperti Jahmiyyah dan Qadariyyah9.
Ia berkata:
“Barang siapa berkata bahwa al-Qur’an adalah makhluk, maka ia telah kafir.”10
Karya-Karya Ilmiah Imam Sufyān ats-Tsaurī
Walaupun Imam Sufyān ats-Tsaurī hidup pada masa awal perkembangan kodifikasi ilmu (sebelum penulisan sistematis seperti era Imam Bukhari dan Imam Syafi‘i), namun pemikiran dan ajaran-ajarannya telah terdokumentasi dalam beberapa karya ilmiah — baik yang ditulis langsung olehnya, atau yang disusun oleh murid dan perawi setelahnya.
1. Al-Jāmi‘ (الجامع)
• Ini adalah kitab fikih dan hadits yang paling terkenal dinisbatkan kepadanya.
• Berisi kumpulan hadits dan pendapat fiqih Imam Sufyān ats-Tsaurī.
• Disusun oleh para murid dari pelajaran dan riwayat beliau.
• Salah satu periwayatnya yang terkenal adalah ‘Abd al-Razzāq ash-Shan‘ānī.
• Kitab ini menjadi rujukan utama dalam mazhabnya, dan banyak dikutip dalam karya fikih dan hadits klasik seperti oleh Ibn Abī Shaybah dan Abū Nu‘aym al-Aṣbahānī1.
2. Tafsīr al-Qur’ān
• Sufyān ats-Tsaurī memiliki tafsir bi al-ma’tsūr (tafsir dengan riwayat sahabat dan tabi‘in).
• Tidak ditulis langsung olehnya dalam bentuk kitab, tetapi tafsirnya diriwayatkan dan dikumpulkan oleh para murid, lalu dicetak dengan judul:
o “Tafsīr Sufyān ats-Tsaurī”, editor: Dr. Aḥmad Khālid Ghazwī.
o Diterbitkan oleh Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
• Tafsir ini bercorak hadits dan atsar, menunjukkan sikap kehati-hatian beliau dalam takwil ayat.
3. Kitāb az-Zuhd (كتاب الزهد)
• Kumpulan nasihat dan riwayat tentang zuhud, wara‘, dan keikhlasan.
• Disusun berdasarkan ajaran dan perkataan beliau, diriwayatkan oleh murid-muridnya.
• Banyak dikutip dalam karya-karya tasawuf dan tazkiyatun nafs oleh ulama salaf seperti Ibn al-Jawzī dan Aḥmad bin Ḥanbal2.
4. Kitāb al-Imān (كتاب الإيمان)
• Menjelaskan pokok-pokok aqidah Ahlus Sunnah dalam hal iman, kufur, dan maksiat.
• Isi kitab ini diketahui dari riwayat-riwayat muridnya dalam buku-buku aqidah seperti dalam karya al-Lālikā’ī dan Ibn Baṭṭah.
________________________________________
Penilaian dan Pengaruh Karyanya
Walaupun karya Imam Sufyān tidak banyak yang disusun dengan tangan beliau sendiri, namun ilmu dan fatwanya sangat luas tersebar melalui:
• Riwayat hadits dalam kutub as-sittah (seperti Shahih Bukhari dan Muslim).
• Pendapat fiqihnya yang dinukil dalam karya-karya Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan para fuqaha lain.
• Daya pengaruhnya menjadikan dia sebagai salah satu peletak dasar ilmu hadits dan fiqih salaf.
________________________________________
________________________________________
Kesimpulan
Imam Sufyān ats-Tsaurī adalah sosok ulama yang tidak hanya ahli dalam hadits dan fikih, tetapi juga dikenal karena kezuhudan, ketegasan sikap terhadap penguasa, serta keberaniannya dalam menegakkan kebenaran. Pemikiran dan warisannya tetap abadi dalam khazanah keilmuan Islam.
Footnotes
1. Adz-Dzahabi, Siyar A‘lām an-Nubalā’, Jilid VII, hal. 229. Beirut: Muassasah ar-Risālah. ↩
2. Ibn Khallikān, Wafayāt al-A‘yān, Jilid II, hal. 233. Beirut: Dār Ṣādir. ↩
3. Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl, Jilid 12, hal. 219. Beirut: Dār al-Fikr. ↩
4. Al-Khatīb al-Baghdādī, Tārīkh Baghdād, Jilid IX, hal. 151. ↩
5. Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Tahdzīb at-Tahdzīb, Jilid 4, hal. 109. ↩
6. Yāqūt al-Ḥamawī, Mu‘jam al-Buldān, Jilid I, hal. 532. ↩
7. Adz-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, Jilid 9, hal. 44. ↩
8. Ibnu ‘Abdil Barr, al-Intiqā’ fī Faḍā’il al-A’immah ats-Tsalātsah, hal. 98. ↩
9. Al-Lālikā’ī, Syarḥ Uṣūl I‘tiqād Ahl as-Sunnah wal-Jamā‘ah, Jilid I, hal. 218. ↩
10. Ibid., hal. 220. ↩
By : Arif Rinanda
Mahasiswa Ma’had Aly zawiyah Jakarta