Relasi Sosial Manusia di Era Metaverse: Keluarga, Masyarakat, dan Fiqih Kontemporer
Metaverse merupakan dunia virtual berbasis teknologi 3D yang memungkinkan interaksi sosial melalui avatar digital. Dalam metaverse, manusia bisa “bertemu”, bekerja, bermain, bahkan membentuk komunitas layaknya di dunia nyata.
Relasi sosial dalam Islam adalah hubungan antara manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga, pertemanan, maupun masyarakat luas, yang seharusnya dibangun atas dasar akhlak mulia, kasih sayang, dan saling menasihati.
Di era metaverse, relasi ini berubah bentuk menjadi interaksi digital—tanpa batas fisik dan waktu—namun tetap perlu dikawal dengan nilai dan etika Islam.
a. Al-Qur’an
• QS. Al-Hujurat: 13
“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal…”
➤ Ayat ini menegaskan bahwa interaksi sosial adalah fitrah dan kebutuhan dasar manusia.
• QS. Ali Imran: 104
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan…”
➤ Menunjukkan pentingnya membangun masyarakat yang saling mengajak kepada kebaikan, termasuk dalam komunitas virtual.
b. Hadis
• HR. Muslim:
“Barang siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.”
➤ Ini berlaku juga dalam komunikasi daring: empati dan etika harus tetap dijaga.
Pendapat Ulama Kontemporer
a. Dr. Ali al-Qaradaghi
Menyatakan bahwa interaksi sosial melalui metaverse bisa dibenarkan dalam Islam selama memenuhi batasan-batasan syar’i:
• Tidak menampakkan aurat.
• Tidak menimbulkan fitnah.
• Menjaga adab dalam berkomunikasi.
• Menghindari penipuan atau penyamaran identitas.
b. Syaikh Prof. Dr. Yusuf al-Qaradawi (rahimahullah)
Menyatakan bahwa teknologi adalah alat, bukan tujuan. Jika digunakan untuk kebaikan dan memperkuat ukhuwah, maka hukumnya bisa menjadi sunnah atau bahkan wajib.
c. Majma’ Fiqh Islami (OKI)
Dalam kajian terbarunya, mereka menyatakan bahwa aktivitas sosial digital—termasuk dalam dunia metaverse—harus tetap tunduk pada kaidah muamalah syar’iyyah, seperti kejujuran, transparansi, serta menghindari kemaksiatan dan penyimpangan.
Perkembangan Relasi Sosial di Era Metaverse
a. Keluarga
• Keluarga bisa saling “bertemu” dalam dunia virtual, namun hal ini berisiko menggantikan interaksi nyata.
• Anak-anak lebih mengenal “avatar” orang tua daripada sosok fisiknya.
b. Masyarakat
• Munculnya komunitas digital yang tidak lagi dibatasi ruang dan waktu.
• Solidaritas sosial bisa terbentuk lintas negara dan budaya, tetapi juga bisa melahirkan kelompok yang menjauh dari realitas lokal.
c. Dakwah dan Pendidikan
• Ustaz dan guru kini bisa hadir dalam bentuk avatar, mengisi majelis ilmu virtual.
• Akses terhadap ilmu agama menjadi lebih luas dan cepat.
Hikmah dari Perspektif Fiqih
a. Fleksibilitas Fiqih
• Fiqih Islam tidak kaku; ia dapat menyesuaikan zaman dengan mempertahankan maqashid syari’ah (tujuan hukum Islam).
b. Menjaga Adab Digital
• Islam mengajarkan adab berkomunikasi, yang sangat relevan dalam dunia maya: tidak menyebar hoaks, menjaga kata-kata, dan tidak menyakiti.
c. Kesempatan Dakwah Global
• Dunia virtual membuka peluang besar bagi dakwah lintas benua dan generasi.
d. Menumbuhkan Kesadaran Etis
• Dunia digital mendorong umat Islam untuk lebih berhati-hati dan sadar akan jejak digital (digital trace) yang bisa berdampak akhirat.
Metaverse sebagai ruang baru dalam kehidupan sosial modern menuntut pemahaman fiqih yang kontekstual. Fiqih kontemporer tidak hanya menilai halal-haram secara tekstual, tetapi juga mempertimbangkan maslahat dan mudarat sosial. Umat Islam dituntut untuk bijak, membangun relasi sosial yang sehat dalam dunia maya, serta tetap mengakar pada nilai-nilai syariat yang abadi.