Telaah Dalil, Maqasid Syariah, dan Fenomena Kontemporer dalam Kripto


Telaah Dalil, Maqasid Syariah, dan Fenomena Kontemporer dalam Kripto

Oleh: Syasli. L Sidi
(Penulis/Editor Materi – Zawiyah Jakarta)

Pendahuluan

Fenomena kripto, seperti Bitcoin dan aset digital lainnya, telah menjadi perbincangan global, termasuk dalam wacana hukum Islam. Kripto menawarkan sistem keuangan terdesentralisasi yang menjanjikan efisiensi dan kebebasan, namun juga menimbulkan banyak pertanyaan dari sisi syariat. Tulisan ini bertujuan untuk menelaah kedudukan kripto berdasarkan dalil syariat, maqasid syariah, dan fenomena kontemporer.

1. Dalil-dalil Syariat

a. Al-Qur’an

Allah berfirman:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275)

Ayat ini menekankan pentingnya transaksi yang sah dan adil, serta larangan terhadap segala bentuk riba yang merugikan salah satu pihak. Ketika kripto dijadikan instrumen spekulasi, maka patut dikaji apakah praktik tersebut mengandung unsur riba atau gharar (ketidakjelasan).

b. Hadis Nabi
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ
“Jika emas ingin ditukar dengan emas, maka harus sama timbangannya.” (HR. Muslim no. 1591)

Hadis ini menekankan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam transaksi, termasuk larangan penundaan dan ketimpangan nilai dalam pertukaran barang ribawi.

c. Ijma’ Ulama
Hingga saat ini belum terdapat ijma’ ulama klasik terkait kripto, karena merupakan fenomena baru. Maka ijtihad kontemporer menjadi penting untuk menentukan hukumnya.

d. Qiyas
Sebagian ulama mengqiyaskan kripto dengan emas atau mata uang, namun sebagian lain menganggapnya sebagai komoditas spekulatif, sehingga menyerupai perjudian atau riba.

e. Qawaid Fiqhiyyah
الأصل في الأشياء الإباحة
Al-ashlu fi al-asyya’ al-ibahah (Hukum asal sesuatu adalah mubah)

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
tidak-boleh-melakukan-sesuatu-yang-membahayakan (merukan).

Kedua kaidah ini menuntut kehati-hatian dalam menetapkan hukum kripto, karena meskipun mubah secara asal, harus dipastikan tidak menimbulkan mudarat.

2. Maqasid Syariah (Tujuan Syariat)

a. Hifzh al-Mal (Menjaga Harta)

Syariat memerintahkan agar harta dikelola secara produktif dan terhindar dari spekulasi yang merusak. Volatilitas ekstrem dalam kripto bisa merugikan individu dan masyarakat secara luas.

b. Hifzh al-‘Aql wa al-Nizam al-Ijtima’i (Menjaga Akal dan Ketertiban Sosial)

Kripto yang tidak diregulasi secara syar’i dapat menimbulkan kekacauan sosial, kecurangan, penipuan, dan kejahatan finansial seperti pencucian uang atau transaksi haram.

3. Fenomena Kontemporer

a. Volatilitas Tinggi

Harga kripto sangat fluktuatif dan dapat berubah drastis dalam waktu singkat, menyerupai aktivitas spekulasi berisiko tinggi.

b. Anonimitas

Teknologi blockchain memungkinkan transaksi tanpa identitas jelas, membuka peluang untuk aktivitas ilegal.

c. Kurangnya Regulasi Syariah

Minimnya pengawasan dari lembaga fatwa atau otoritas syar’i menyebabkan potensi penyimpangan dalam penggunaan kripto sebagai alat tukar atau investasi.

4. Ilustrasi dari Ulama Salaf

Umar bin Khattab menolak penggunaan kapsa (sejenis bahan) dalam transaksi karena unsur ketidakjelasan nilainya. Ini menunjukkan pentingnya kejelasan dan keadilan dalam muamalah — prinsip yang relevan untuk menilai kripto hari ini.

Kesimpulan

Kripto dalam perspektif Islam harus ditinjau dari aspek dalil, maqasid, dan realitas kontemporer. Selama belum memenuhi prinsip keadilan, kejelasan, dan kemanfaatan kolektif, penggunaannya perlu dikaji lebih mendalam dan dikontrol secara ketat oleh otoritas syariah. Adanya regulasi Islami menjadi syarat penting agar kripto dapat digunakan secara aman dan sesuai syariat.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *