KH. Abdul Manaf Mukhayyar

Salah satu pondok pesantren terkemuka di Jakarta yang juga menjadi salah satu yang terkemuka di Indonesia bahkan di Asia Tenggara adalah Pondok Pesantren Darunnajah yang beralamatkan di Jl. Ulujami Raya No. 86 Pesanggrahan Jakarta Selatan.

Sosok yang berjasa dalam pendiriannya adalah seorang putra Betawi, yaitu KH. Abdul Manaf Mukhayyar. Ia adalah wakif yaitu orang yang telah mewakafkan tanahnya untuk lokasi pembangunan Darunnajah. Ia juga membelanjakan hartanya untuk menggaji guru, membelanjakan uangnya untuk membangun madrasah, dan menutup biaya operasional pada saat awal mula pendirian pesantren ini. Abdul Manaf juga penggagas ide pendirian lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam dan mencetak kader-kader ulama.

Di awal tahun 2012 Yayasan Darunnajah sudah memiliki 14 Pesantren di seluruh Indonesia dengan ribuan santri yang menuntut ilmu agama Islam didalamnya.

KH. Abdul Manaf Mukhayyar lahir di kampung Kebon Kelapa, Palmerah pada Kamis 29 Juni 1922 dari pasangan Haji Mukhayyar dan Hj. Hamidah, Ia adalah anak ke-4 dari 11 bersaudara. Sejak kecil, H. Mukhayyar (ayah K.H. Abdul Manaf Mukhayyar) sudah menanamkan kebiasaan beribadah bagi anak-anaknya. Termasuk kepada Abdul Manaf. Saat bulan puasa, anak-anaknya diajak ke masjid untuk salat tarawih. Ayah H. Mukhayyar, H. Bukhori, juga ikut membimbing cucu-cucunya.

Untuk pendidikan awalnya, ia dikirim oleh ayahnya untuk belajar di sekolah Belanda, dan sore harinya belajar mengaji ke madrasah. Pada waktu itu, hanya orang-orang yang secara ekonomi mampu atau memiliki kedudukan di pemerintahan saja yang bisa sekolah di sekolah Belanda. Abdul Manaf kecil termasuk beruntung karena H. Mukhayyar termasuk orang kaya. Ia memasukkan Abdul Manaf ke Volksschool (sekolah dasar) selama tiga tahun di Pengembangan Palmerah pada usia 10 tahun. Dari Volksschool, Abdul Manaf melanjutkan ke Vervolegschool (sekolah lanjutan) selama dua tahun. Selain belajar di sekolah, sore hari selepas pulang dari Vervolegschool, Abdul Manaf muda mengikuti pengajian di rumah Haji Sidik di Bendungan Hilir.

Setamat dari Vervolegschool, Abdul Manaf meminta izin kepada orang tuanya untuk belajar di Jamiat Khair yang terletak di daerah Karet, Tanah Abang. Ini adalah lembaga pendidikan madrasah yang sangat maju pada masanya. Murid-murid di madrasah ini diajar bahasa Arab dan guru-gurunya kebanyakan dari Timur Tengah. Pada saat itu, Jamiatul Khair termasuk sekolah terpandang karena para muridnya umumnya dari kalangan orang-orang Arab yang kaya. Abdul Manaf adalah perkecualian. Meskipun ia bukan keturunan Arab, tetapi ia diterima dan belajar di sekolah yang di kemudian hari menjadi inspirasinya untuk mendirikan Pesantren Modern Darunnajah.

Ia juga sempat belajar bahasa Belanda pada tahun 1942 untuk menambah pengetahuannya, hanya saja hal itu hanya berlangsung selama 2 bulan karena penggunaan bahasa Belanda dilarang akibat datangnya penjajah Jepang di tanah air. Bahasa Belanda tidak diajarkan di Jamiat Khair. Sebagai gantinya, bahasa Inggris diajarkan sebagai pelajaran wajib.

Sebenarnya setelah Ibtidaiyah, masih ada tingkat Tsanawiyah yang ditempuh selama 3 tahun. Lulusan Tsanawiyah Jamiat Khair bisa melanjutkan ke Makkah atau ke Mesir. Namun Abdul Manaf tak mengambilnya. Datangnya penjajahan Jepang dan kesulitan ekonomi agaknya menjadi alasannya kala itu.

Pada 1939, saat menempuh studi di Jamiat Khair inilah, muncul ide dalam diri Abdul Manaf untuk mendirikan madrasah dengan sistem modern. Ide ini diwujudkan dengan mendirikan Madrasah Islamiyah pada 1942 dengan sistem pengajaran modern mencontoh Jamiatul Khair pada 1942. Saat itu, Abdul Manaf belum mengenal pola pondok pesantren. Selain madrasah untuk mengajarkan agama, Abdul Manaf juga memiliki niat mendirikan sekolah gratis untuk orang fakir.

Niat mulia mendirikan sekolah juga tak lepas dari pesan guru-gurunya di Jamiatul Khair yang selalu diingatnya. Pesan itu antara lain agar Abdul Manaf menjadi orang jujur, tidak mengesampingkan pendidikan, selalu salat berjamaah dan tidak melupakan kaum fakir miskin. Konon saat masih duduk di bangku Jamiatul Khair, Abdul Manaf pernah menulis kata-kata dalam bahasa Arab pada salah satu kitab dengan bunyi idza sirtu ghaniyyan aftah madrasah lil fuqara’ majjanan. Artinya: Kalau saya jadi orang kaya, saya akan membuka sekolah gratis untuk anak-anak yang tidak mampu. Inilah cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta sekarang yang dipimpin oleh mantunya, KH. Mahrus Amin dibawah naungan Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Islam (YKMI) yang ia dirikan bersama teman-temannya.

Ia juga bukan hanya perintis Pondok Pesantren Darunnajah, tetapi juga seorang pejuang. Majalah Pesan pada tahun 1989, memuat profil Abdul Manaf dalam salah satu artikelnya. Disebukan bahwa pada masa revolusi fisik, Abdul Manaf dibantu ayahnya membuka dapur umum untuk keperluan para pejuang. Dia juga turut memanggul senjata di sekitar wilayah Rawabelong, Kebayoran Lama dan Palmerah.
Pada tanggal 21 September 2005, tokoh pendidikan Islam dari Betawi ini meninggalkan kita semua di umur 83 tahun, mewariskan sebuah lembaga pendidikan Islam terkemuka untuk pendidikan generasi umat Islam juga untuk kaum Betawi.

Dikutip dari buku Geneologi Ulama Betawi oleh Rakhmad Kiki Jaelani

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *