Oleh: Hayat Abdul Latief
Dari Abu Ayub Al-Anshory r.a;
أنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: عِظْنِي وَأَوْجِزْ، وفي رواية عَلِّمْنِي وَأَوْجِزْ، فَقَالَ ـ عليه الصَّلاة والسَّلام ـ:«إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا، وَأَجْمِعِ اليَأسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاسِ»
“Bahwasanya seorang laki laki datang kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam kemudian (laki-laki) tersebut berkata : Ya Rasulullah, nasehatilah aku dengan nasehat yang singkat, di dalam riwayat yang lain , laki laki itu berkata : ajarilah aku sesuatu yang ringkas.
Lalu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau berdiri untuk melaksanakan sholat, maka sholatlah seolah olah engkau akan berpisah (dengan dunia ini), janganlah engkau mengucapkan suatu ucapan yang mendatangkan penyesalan di esok hari (hari kiamat) dan berputus asalah dari apa apa yang dimiliki oleh manusia (tidak berharap kepada mereka).” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Di dalam hadits di atas terdapat tiga nasehat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Ayub Al-Anshari (juga kepada kita semua):
Nasihat Pertama, tentang pentingnya menjalankan sholat dengan sungguh sungguh dan penuh kekhusyu’an., إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ (“Apabila engkau berdiri untuk melaksanakan sholat, maka sholatlah seolah olah engkau akan berpisah dengan dunia yang fana ini.”). Apabila kita membayangkan, bahwasanya shalat yang kita kerjakan adalah salat terakhir, maka kita akan bersungguh sungguh dalam mengerjakannya, dengan memperhatikan rukun rukunnya, kewajiban kewajibannya, tuma’ninah dan kekhusyuannya. Allah SWT berfirman,
حَٰفِظُوا۟ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلْوُسْطَىٰ وَقُومُوا۟ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al-Baqarah: 238)
Mujahid berkata (Dalam hadits yang diriwayatkan Ath-Thabari): “Dahulu orang-orang berbicara dalam shalat, bahkan ada seorang lelaki yang menyuruh saudaranya untuk melakukan suatu keperluan. Lalu Allah menurunkan ayat,
وَقُومُوا۟ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ
“Dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Tafsir Al-Wajiz – Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili)
Nasihat Kedua, tentang pentingnya menjaga lisan, وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا (“janganlah engkau mengucapkan suatu ucapan yang mendatangkan penyesalan di hari esok – hari kiamat.”). Maksud nasehat ini untuk agar kita menjaga lisan, jangan sampai kita mengucapkan suatu ucapan menurut kita remeh, padahal ucapan tersebut mengundang murka Allah dan ucapan tersebut menjerumuskan kita ke dalam neraka. Ingatlah bahwasannya ada malaikat yang mengawasi dan mencatat semua ucapan kita.
Allah SWT dan Rasul-Nya meminta kita agar menjaga lisan dari setiap ucapan yang buruk dan tidak berkata kecuali kebaikan. Allah SWT berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab: 70-71)
Rasulullah saw bersabda,
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَــقُلْ خَـيْرًا أَوْ لِيَـصـمُــتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR. Al-Bukhari)
Nasihat Ketiga, tentang pentingnya menggantungkan harapan hanya kepada Allah, وَأَجْمِعِ اليَأسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاسِ (“… dan berputus asalah dari apa apa yang dimiliki oleh manusia (tidak berharap kepada mereka”). Maksud dari nasehat ini agar kita menggantungkan harapan kita hanya kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Apabila kita berharap kepada Allah, kita tidak akan pernah kecewa, namun apabila kita berharap apa yang dimiliki manusia, maka seringkali kita mengalami kekecewaan.
Untuk memperkuat keterangan di atas, cukuplah hadits berikut sebagai pedoman bahwa Allah sebagai sandaran hidup kita. Dari Abul ‘Abbas ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a dia berkata: “Suatu hari (ketika) saya (dibonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di belakang (hewan tunggangan) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepadaku:
“يا غلام، إنّي أعلمك كلماتٍ: احفظ الله يحفظك، احفظ الله تجده تجاهك، إذا سألت فاسأل اللهَ، وإذا استعنت فاستعن بالله، واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك، وإن اجتمعوا على أن يضرّوك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك، رفعت الأقلام وجفت الصحف”، رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح.
“Wahai anak kecil, sungguh aku akan mengajarkan beberapa kalimat (nasehat penting) kepadamu, (maka dengarkanlah baik-baik!): “Jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka Allah akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu (selalu bersamamu dan menolongmu), jika kamu (ingin) meminta (sesuatu), maka mintalah (hanya) kepada Allah, dan jika kamu (ingin) memohon pertolongan, maka mohon pertolonganlah (hanya) kepada Allah.
Ketahuilah, bahwa seluruh makhluk (di dunia ini), seandainya pun mereka bersatu untuk memberikan manfaat (kebaikan) bagimu, maka mereka tidak mampu melakukannya, kecuali dengan suatu (kebaikan) yang telah Allah tuliskan (takdirkan) bagimu, dan seandainya pun mereka bersatu untuk mencelakakanmu, maka mereka tidak mampu melakukannya, kecuali dengan suatu (keburukan) yang telah Allah tuliskan (takdirkan) akan menimpamu, pena (penulisan takdir) telah diangkat dan lembaran-lembarannya telah kering.” (HR At-Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih)
Wallahu a’lam. Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!
(Khadim Korp Da’iAn Nashihah dan Alumni Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)