Oleh: Hayat Abdul Latief
Manusia silau dalam mencintai sesuatu yang bersifat segera sedangkan akhirat dilalaikan, padahal di sanalah tempat kenikmatan abadi. Kebanyakan mereka melalaikannya, seolah-olah mereka tidak diciptakan untuk akhirat – dan seolah-olah dunia ini adalah tempat keabadian dengan mengorbankan pikiran, tenaga dan usia. Itu adalah logika yang terbalik dan pasti berakibat fatal manusia mendapatkan kerugian.
Jika manusia lebih mementingkan akhirat daripada dunia dan melihat akibat setiap perbuatan di dunia akan berdampak kepada kehidupan akhirat, pasti mereka akan mendapatkan keuntungan dan kemenangan yang tidak disertai kesengsaraan.
Secara garis besar manusia terbagi dua. Ada yang berorientasi dunia dan ada yang berinteraksi akhirat. Allah SWT berfirman;
كَلَّا بَلۡ تُحِبُّوۡنَ الۡعَاجِلَةَ ۙ وَتَذَرُوۡنَ الۡاٰخِرَةَ ؕ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍۭ بَاسِرَةٌ تَظُنُّ أَن يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ
“Tidak! Bahkan Kamu mencintai kehidupan dunia, dan mengabaikan (kehidupan) akhirat. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat.” (QS. Al-Qiyamah: 20-21)
Menurut ayat ini, di hari kiamat orang yang orientasinya akhirat wajahnya berseri-seri karena merasakan nikmat yang paling tinggi yaitu melihat wajah Allah SWT. Sedangkan orang yang orientasi dunia wajahnya muram sebagai tanda kesengsaraan karena akan mendapatkan malapetaka yang besar.
Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya orang yang orientasi hidupnya untuk dunia semata, pasti menginginkan kehidupan yang mapan namun tidak semua orang mencapai apa yang diinginkan semuanya sesuai dengan ketetapan Allah. Ada yang ditakdirkan menjadi orang yang berlimpah harta dan ada yang ditakdirkan menjadi orang yang kekurangan. Sedangkan di akhirat mereka sudah pasti menjadi orang-orang yang tercela dan terusir dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian juga orang yang orientasi hidupnya akhirat, keadaan kehidupan di dunia ada yang ditakdirkan menjadi orang kaya dan ada yang ditakdirkan menjadi orang yang kekurangan. Namun karena keimanannya kemudian menjadikan syukur dan sabar sebagai kendaraan hidupnya. Sudah pasti di akhirat segala amal ibadahnya mendapat apresiasi dari Allah subhanahu wa ta’ala. Secara tegas juga Allah SWT berfirman;
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهٗ فِيْهَا مَا نَشَاۤءُ لِمَنْ نُّرِيْدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهٗ جَهَنَّمَۚ يَصْلٰىهَا مَذْمُوْمًا مَّدْحُوْرًا وَمَنْ اَرَادَ الْاٰخِرَةَ وَسَعٰى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَّشْكُوْرًا
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS. Al-Isra: 18-19)
Demikian keadaan mereka di akhirat. Lantas bagaimana keadaan mereka di dunia? Orang yang orientasi hidupnya dunia semata maka Allah tanamkan kefakiran di depan matanya. Sedangkan orang yang orientasi hidupnya akhirat Allah tanamkan kekayaan di dalam hatinya. Rasulullah SAW bersabda;
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.
“Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.” (HR. Ibnu Majah dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu)
Dengan sederhana guru-guru kita memberikan ibarat: Barang siapa yang menanam padi maka dengan sendirinya rumput ikut tumbuh namun tidak dengan sebaliknya. Maksudnya adalah barang siapa yang orientasi hidupnya akhirat dan bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya niscaya ia akan mendapatkan kebahagiaan akhirat plus kebahagiaan dunia. Sedangkan yang orientasi hidupnya hanya dunia semata maka tidak akan memperoleh apa-apa kecuali apa yang dituliskan menjadi bagian untuknya dan di akhirat dalam keadaan rugi. Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!
(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Alumni Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)